Rabu, 27 Oktober 2010

ISU DAN PROBLEM PENDIDIKAN DI MADRASAH


BAB I                                                                                                                                                  PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Istilah pendidikan Islam dipergunakan dalam dua hal, yaitu: satu, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa. Dua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam. Apakah problematika Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini? Salah satu cara adalah melihat pendidikan Islam di Indonesia sebagai bagian dari seluruh jenis pendidikan yang ada dan kemudian mengkaji persoalan terdapat dalam dunia pendidikan Islam.[1] Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini ialah bagaimana mempersiapkan generasi muda, agar memiliki kemampuan di kemudian hari untuk menjawab segenap tantangan yang mereka hadapi secara memadai.
Lembaga pendidikan Islam (pesantren, madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam) mempunyai misi penting yaitu mempersiapkan generasi muda ummat Islam untuk ikut berperan bagi pembangunan ummat dan bangsa di masa depan.  Pentingnya misi lembaga pendidikan Islam ini disebabkan karena hampir seratus persen siswa atau mahasiswa yang belajar di lembaga pendidikan Islam adalah anak-anak dari keluarga santriiii.  Hal ini berbeda dengan keadaan di sekolah atau perguruan tinggi umum yang siswa atau mahasiswanya merupakan campuran antara anak keluarga santri dan keluarga abangan. Apabila kualitas pendidikan yang mereka peroleh di madrasah bagus, maka, insya Allah, mereka akan menjadi orang yang berkualitas dan akan memainkan peran penting sebagai pemimpin ummat, masyarakat, dan bangsa.  Sebaliknya, apabila kualitas pendidikan yang mereka peroleh di madrasah tidak bagus, maka kemungkinan mereka untuk berperan dalam percaturan bangsa akan menjadi amat kecil. Salah-salah, mereka akan menjadi bagian problem masyarakat dan bukan bagian penyelesaian problem masyarakat.

B.  Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas, kami membuat suatu rumusan masalah agar pemahaman dari makalah ini dapat lebih spesifik, lebih dimengerti dan terarah pembahasannya.

Adapun romusan masalah tersebut ialah:
1.    Bagaimanakah isu pendidikan islam pada madrasah?
2.    Bagaimanakah problem pendidikan islam pada madrasah?

C.  Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan penulisan, penyusunan dan pembahasan makalah ini ialah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui isu pendidikan islam pada madrasah?
2.      Untuk mengetahui problem pendidikan islam pada madrasah?













BAB II                                                                                                                                                                                 ISU DAN PROBLEM PENDIDIKAN ISLAM PADA MADRASAH

Madrasah adalah perkembangan modern dari pendidikan pesantren.  Menurut sejarah, jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, lembaga pendidikan Islam yang ada adalah pesantren yang memusatkan kegiatannya untuk mendidik siswanya mendalami ilmu agama.  Ketika pemerintah penjajah Belanda membutuhkan tenaga terampil untuk membantu administrasi pemerintah jajahannya di Indonesia, maka diperkenalkanlah jenis pendidikan yang  beroritentasi pekerjaan.  Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 ternyata melahirkan kebutuhan akan banyak tenaga terdidik dan terampil untuk menangani administrasi pemerintahan dan juga untuk membangun negara dan bangsa.  Untuk itu, pemerintah lalu memperluas pendidikan model barat yang dikenal dengan sekolah umum itu. Untuk mengimbangi kemajuan zaman itu, di kalangan ummat Islam santri timbul keinginan untuk mempermodern lembaga pendidikan mereka dengan mendirikan madrasah.
 Perbedaan utama madrasah dengan pesantren terletak pada sistem pendidikannya.  Madrasah menganut sistem pendidikan formal (dengan kurikulum nasional, pemberian pelajaran dan ujian yang terjadwal, bangku dan papan tulis seperti umumnya sekolah model Barat) sementara pesantren menganut sistem non-formal (dengan kurikulum yang sangat bersifat lokal, pemberian pelajaran yang tidak seragam, sering tanpa ujian untuk mengukur keberhasilan belajar siswa, dsb.).  Ciri lain yang umumnya membedakan keduanya adalah adanya mata pelajaran umum di madrasah.  Penambahan mata pelajaran umum pada kurikulum madrasah ini tidak berjalan seketika, melainkan terjadi secara berangsur-angsur.  Pada awalnya, kurikulum madrasah masih 100% berisi pelajaran agama, tanpa ada pelajaran umum (Jadi, seperti pesantren, hanya di madrasah ada bangku, papan tulis, ulangan, ujian, dsb.)  Lulusan madrasah pada masa itu tidak dapat melanjutkan pelajarannya ke sekolah umum yang lebih tinggi, bahkan juga tidak dapat pindah ke sekolah umum yang sejenjang, karena memang kurikulumnya berbeda.  Orang tua yang ingin mendidik anaknya dalam ilmu agama dan ilmu umum terpaksa harus menyekolahkan anaknya di dua tempat, di sekolah umum dan di madrasah.  Pada tahun 1975, ada surat keputusan bersama tiga menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) yang menetapkan bahwa lulusan madrasah dianggap setara dengan lulusan sekolah umum dan lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih tinggi dan siswa madrasah boleh berpindah ke sekolah umum yang sama jenjangnya.  Demikian pula sebaliknya.  Kompensasi dari kesetaraan itu adalah bahwa 70% dari kurikulum madrasah harus berisi mata pelajaran umum.  Kini, berdasarkan kurikulum madrasah 1994,  kurikulum madrasah harus memuat 100% kurikulum sekolah umum.  Dalam undang-undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, madrasah dikategorikan sebagai Sekolah Umum yang Berciri Islam (SUCI).
Madrasah didalam perkembangannya memiliki struktur dan penjenjangan baik secara vertical seperti Raudlatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawuyah, Aliyah maupun horizontal dalam bentuk sekolah-sekolah kejuruan seperti PGA, PHIN, Muallimin, Kulliatul Muballighin dan lain-lain.[2]
Pada tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai “Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah.” Dalam Surat Keputusan Bersama itu, masing-masing Kementrian Agama, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementrian dalam Negeri memikul tanggung jawan dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan madrasah.[3]
A.  Isu Pendidikan Islam Pada Madrasah
Minat ummat Islam terhadap madrasah sebenarnya cukup tinggi.  Di beberapa daerah, jumlah siswa madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah bahkan lebih banyak daripada jumlah siswa Sekolah Dasar atau SLTP.  Di mata mereka, madrasah memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan sekolah umum.  Madrasah, terutama yang ada di dalam pondok pesantren, memberikan bekal mental keagamaan (keimanan dan ketaqwaan) yang kuat kepada siswanya.  Dengan bekal mental yang kuat ini, diharapkan, apabila mereka menjadi pemimpin di kemudian hari, mereka akan menjadi pemimpin yang jujur, amanah, dan adil.
Sayang, kualitas lembaga yang mengemban misi penting ini, menurut banyak pengamat, amat memprihatinkan.  Kualitas pendidikan di madrasah yang ada di luar pondok, terutama yang yayasannya kurang kuat, sering berada di bawah standar, baik dilihat dari segi pendidikan agama maupun dari segi pendidikan umum.  Di bidang pendidikan agama madrasah ini kalah dari madrasah yang ada di dalam pondok dan, di bidang pendidikan umum ia kalah dari sekolah umum yang ada di sekitarnya. Madrasah yang ada di dalam pondok masih agak lumayan, walaupun kualitas pendidikan umumnya mungkin kalah jika dibandingkan dengan standar sekolah umum tetapi di bidang pendidikan agama kebanyakan dari mereka memiliki kualitas di atas standar.  Tentu saja, kekecualian-kekecualian juga ada.  Madrasah yang kualitas pendidikan umumnya lebih tinggi dari sekolah umum, seperti MIN Malang I, juga ada, walau sedikit sekali.
Persoalan ini menjadi makin serius apabila dikaitkan dengan isu besar akhir-akhir ini, yakni globalisasi.  Kalau banyak orang mengatakan bahwa bangsa Indonesia belum siap untuk memasuki era globalisasi, maka lulusan madrasah dikhawatirkan lebih tidak siap lagi menghadapi era globalisasi ini.  Kaitan antara globalisasi dan kesiapan madrasah menghadapinya itulah yang akan menjadi pokok bahasan makalah ini.  Makalah ini mula-mula akan membahas apa itu globalisasi dan apa ancaman serta peluang yang diberikannya kepada kita, para pengelola pendidikan Islam ini.  Berikutnya akan dibahas apa persyaratan agar seseorang dapat menghindari ancaman dan memanfaatkan peluang yang ditimbulkan oleh globalisasi itu.  Terakhir, akan dibicarakan apa yang harus dilakukan oleh madrasah atau lembaga pendidikan Islam agar lulusannya dapat tetap memainkan peran dalam masyarakat di era globalisasi.[4]
Era Globalisasi di Indonesia
Krisis yang melanda Indonesia saat ini menyadarkan kita bahwa kita kini bukan lagi sedang menghadapi era globalisasi, melainkan sudah memasuki era tersebut.  Krisis moneter yang semula melanda Thailand dua tahun lalu kemudian merembet ke negara-negara ASEAN lainnya dan akhirnya juga melanda Indonesia.  Dampak dari krisis yang semula bersifat ekonomis itu ternyata melebar menjadi krisis politik dan sosial yang sampai saat ini, sesudah dua tahun, belum kunjung selesai.
Globalisasi adalah suatu proses proses mendunia akibat kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang telekomunikasi dan transportasi.  Globalisasi mengakibatkan orang tidak lagi memandang dirinya sebagai hanya warga suatu negara, melainkan juga sebagai warga masyarakat dunia.  Ia tidak lagi menganggap benar nilai-nilai yang selama ini dianut oleh masyarakat kampung, kota, propinsi, atau bangsanya, melainkan mulai membandingkannya dengan nilai-nilai yang dia pelajari dari bangsa lain.  Dalam bekerja pun, ia tidak lagi memandang wilayah negaranya sebagai tempat mencari nafkah, melainkan ia meluaskan pandangannya ke seluruh kawasan dunia sebagai lahan tempat ia mencari nafkah.  Contoh rakyat Indonesia yang berwawasan global adalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang bekerja di luar negeri.
Globalisasi di bidang ekonomi telah menimbulkan desakan-desakan agar diberlakukan perdagangan bebas antar bangsa.  Beberapa negara telah membentuk persekutuan di bidang ekonomi: Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), AFTA (Asean Free Trade Area), dan APEC untuk kawasan Asia Pasifik.
Peluang dan Ancaman Globalisasi
Globalisasi ini membawa dampak positif dan negatif bagi kepentingan bangsa dan ummat kita.  Dampak positif, misalnya, makin mudahnya kita memperoleh informasi dari luar sehingga dapat membantu kita menemukan alternatif-alternatif baru dalam usaha memecahkan masalah yang kita hadapi.  (Misalnya, melalui internet kini kita dapat mencari informasi dari seluruh dunia tanpa harus mengeluarkan banyak dana seperti dulu.  Demikian pula, dalam hal tenaga kerja, dana, maupun barang).  Di bidang ekonomi, perdagangan bebas antar negara berarti makin terbukanya pasar dunia bagi produk-produk kita, baik yang berupa barang atau jasa (tenaga kerja).  
Dampak negatifnya adalah masuknya informasi-informasi yang tidak kita perlukan atau bahkan merusak tatanan nilai yang selama ini kita anut.  Misalnya, budaya perselingkuhan yang dibawa oleh film-film Italy melalui TV, gambar-gambar atau video porno yang masuk lewat jaringan internet, majalah, atau CD ROM, masuknya faham-faham politik yang berbeda dari faham politik yang kita anut, dsb.  Di bidang ekonomi, perdagangan bebas juga berarti terbukanya pasar dalam negeri kita bagi barang dan jasa dari negara lain.  Kita terpaksa harus bersaing dengan produk dan tenaga kerja asing di negara kita sendiri.  Para pendatang asing yang, karena terpaksa, harus lebih ulet dan keras bekerja biasanya lebih berhasil daripada para penduduk domestik sehingga kesenjangan sosial tak terhindarkan dan kecemburuan sosial pun mudah timbul.  Kalau kita kalah bersaing, kita akan menjadi penonton di negeri sendiri.  (Contoh yang sudah terjadi adalah perfilman nasional).
Menghindari globalisasi sebagai proses alami ataupun menghilangkan sama sekali dampak negatif globalisasi itu barangkali tidak mungkin.  Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, kita harus menghadapi globalisasi ini dan menerima segala dampaknya, negatif maupun positif.  Oleh karena itu, tantangan yang kita hadapi sebagai kelompok elit ummat adalah: Bagaimana kita dapat memanfaatkan semaksimal mungkin dampak positif (peluang) globalisasi itu dan meminimalkan dampak negatif (ancaman) nya.  Kalau pertanyaan itu diarahkan kepada kita para pengelola lembaga pendidikan Islam ini, maka pertanyaan itu akan menjadi: Bagaimana lembaga pendidikan kita dapat menyiapkan lulusan yang akan bisa survive dalam era globalisasi ini, tetap dapat memainkan peranan penting dalam kehidupan global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai muslim Indonesia.
Kunci Keberhasilan di Era Globalisasi
Perjanjian Perdagangan Bebas Antar Negara akan menimbulkan persaingan antar bangsa dalam memperebutkan pengaruh dan ekonomi.   Hukum persaingan di mana-mana adalah sama, yaitu siapa yang unggul, dialah yang akan menjadi pemenangnya.  Mereka yang tidak mempunyai keunggulan, akan menjadi pecundang.  Dalam bahasa dunia dewasa ini, keunggulan yang amat menentukan adalah keunggulan di bidang ekonomi dan iptek.  Inilah mata uang (currency) dalam kompetisi internasional dewasa ini.  Persaingan di bidang ekonomi dan iptek ini berarti persaingan di bidang kualitas sumber daya manusia.  Hanya bangsa yang memiliki SDM yang unggul di bidang ekonomi dan iptek lah yang akan keluar sebagai pemenang dalam kompetisi internasional ini.
Karena pendidikan adalah “usaha sadar suatu bangsa untuk membentuk generasi mudanya agar menjadi manusia sesuai yang dia idam-idamkan”, maka tantangan yang dihadapkan oleh globalisasi kepada pendidikan nasional adalah: mampukah pendidikan nasional menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang berkualitas sehingga mampu memenangkan persaingan antar bangsa (atau setidaknya survive) dalam era globalisasi itu?
Melalui repelita-repelita, pemerintah Indonesia telah berusaha untuk membangun bangsa ini dengan prioritas utama di bidang ekonomi (kesejahteraan duniawi).  Ekonomi Indonesia yang dulu bertumpu pada pertanian (ekonomi agraris) secara bertahap diubah menjadi bertumpu pada industri (ekonomi industri).  Perubahan ini tentu saja mengakibatkan perubahan kebutuhan tenaga kerja (kini pekerja pabrik lebih dibutuhkan daripada petani).  Orientasi produk Indonesia pun kini beralih ke pasar internasional untuk mendapatkan lebih banyak devisa bagi pembangunan bangsa.  Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di zaman industrialisasi ini, dan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah berkeinginan untuk mengubah komposisi mahasiswa di Indonesia dari yang, di tahun 1993/1994, 73% berada pada bidang studi ilmu sosial, 14% pada bidang studi IPA, dan 13% pada bidang studi Teknik menjadi 30% di bidang sosial, 25% di bidang IPA, dan 45% di bidang Teknik pada akhir PJP II.
Peran Madrasah dalam Menghadapi Globalisasi
Di muka telah dikemukakan bahwa madrasah menempati peran strategis bagi pendidikan generasi muda ummat Islam karena di sanalah tempat kebanyakan anak para santri mempersiapkan diri untuk menjalankan peran penting mereka bagi masyarakat di kemudian hari.  Dalam konteks mempersiapkan anak didik menghadapi perubahan zaman akibat globalisasi ini pun madrasah (lembaga pendidikan Islam) memiliki peran yang amat penting.  Keberhasilan madrasah dalam menyiapkan anak didik menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks akan menghasilkan lulusan yang akan menjadi pemimpin ummat, pemimpin masyarakat, dan pemimpin bangsa yang ikut menentukan arah perkembangan bangsa ini.  Sebaliknya, kegagalan madrasah dalam menyiapkan anak didik menghadapi tantangan masa depan akan menghasilkan lulusan-lulusan yang frustrasi, tersisih, dan menjadi beban masyarakat.  Naudzubillahi min dzalik.
Dibandingkan dengan pendidikan di sekolah umum, madrasah mempunyai misi yang mulia.  Ia bukan saja memberikan pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan agama (melalui pelajaran agama dan penciptaan suasana kegamaan di madrasah) sehiingga, kalau pendidikan ini berhasil, para lulusannya akan dapat hidup bahagia di dunia ini (biasanya diukur secara ekonomis) dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena ketaatannya pada ajaran agama)iv.  Madrasah yang hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum mungkin hanya akan mampu memberikan potensi untuk bahagia di akhirat saja (walaupun ini masih lebih baik daripada hanya memperoleh kebaikan di dunia tanpa memperoleh kebahagiaan di akhirat)
Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, madrasah harus juga menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki.  Ini dimaksudkan agar lulusan madrasah tidak akan terpinggirkan oleh lulusan sekolah umum dalam memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan pembangunan bangsa.  Mengingat dalam UUSPN (Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional), madrasah dikategorikan sebagai sekolah umum, maka lulusan madrasah pun berhak melanjutkan belajarnya ke perguruan tinggi umum, baik Fakultas Ilmu Sosial maupun Fakultas Ilmu Eksaktav.  Terbukanya peluang untuk memasuki perguruan tinggi umum ini harus dimanfaatkan oleh madrasah sebaik mungkin, terutama untuk Fakultas Ekonomi, Teknik, dan Eksakta, fakultas-fakultas yang selama ini dijauhi oleh lulusan madrasah.  Hal ini disebabkan karena bidang-bidang ilmu itulah yang diperkirakan akan memainkan peran penting bagi pembangunan nasional pada masa-masa mendatang.  Untuk itu, madrasah harus meningkatkan kualitas pelajaran ilmu eksakta seperti matematika, fisika, dan biologi.  Madrasah harus mendorong para santrinya untuk mau bekerja di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu eksakta murni agar bidang itu tidak hanya dikuasai oleh lulusan non-madrasah yang belum tentu memiliki mental keagamaan yang kuatvi.

      Agar lulusan madrasah memiliki wawasan global, yang memandang bahwa seluruh muka bumi milik Allah ini adalah tempat mengabdi, maka madrasah pun harus memiliki wawasan global.  Bagaimana mungkin madrasah yang tidak memiliki wawasan global dapat menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan global?vii  Madrasah harus mempersiapkan anak didiknya agar dapat melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri.  Untuk ini, maka penguasaan ketrampilan berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi amat penting.  Demikian pula pengenalan budaya dan bangsa asing.

B.  Problem Pendidikan Pada Madrasah
Masyarakat Indonesia tidak sedikit yang lebih mempercayai lembaga pendidikan madrasah daripada sekolah umum. Kementerian Agama mencatat bahwa jumlah lembaga pendidikan madrasah tidak kurang dari 18 % dari seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Pada umumnya, (95%) madrasah berstatus swasta. Hanya sebagian kecil yang berstatus negeri. Lembaga pendidikan Islam ini diminati oleh masyarakat yang menghendaki para putra-putrinya memperoleh pendidikan agama  yang cukup sekaligus pendidikan umum yang memadai.
Masyarakat peminat madrasah  sadar bahwa ukuran keberhasilan pendidikan pada umumnya dilihat dari perolehan nilai Ujian Nasional  atau  tatkala telah lulus diterima oleh lembaga pendidikan jenjang berikutnya. Tetapi, pandangan seperti ini tidak selalu dipegangi. Sekalipun, UN yang diperoleh rendah yang berakibat sulit mendapatkan lembaga pendidikan berkualitas berikutny, tidak dirasakan menjadi pertimbangan, yang penting putra-putrinya memperoleh pendidikan agama secara cukup. Mereka meyakini betul, betapa pendidikan agama menjadi sangat penting daripada lainnya.

1.     Problem Kualitas

            Sebagian banyak madrasah, jika dilihat dari hasil Nilai Ujian Nasional pada umumnya masih rendah apalagi bila dibandingkan dengan sekolah umum pada umumnya. Kecuali beberapa yang rupanya ditangani secara khusus, ternyata juga berhasil unggul dan dapat meraih  prestasi lebih tinggi bilamana dibandingkan dengan prestasi sekolah umum pada umumnya. Tetapi jumlah yang berhasil berprestasi seperti ini masih terbatas jumlahnya. Sebut saja misalnya, sebagai contoh Madrasah Terpadu Malang, yaitu  Madrasah Ibtidaiyah Negeri, Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Madrasah Aliyah Negeri Malang, prestasi akadmiknya setiap tahun selalu unggul dan dapat bersaing dengan lembaga pendidikan pada ummnya.
Membandingkan madrasah dengan sekolah umum, dengan  hanya melihat dari hasil belajar tahap akhir nasional sesungguhnya tidaklah adil. Kedua jenis lembaga pendidikan ini sesungguhnya menyandang visi dan misi dan kondisi yang agak berbeda. Visi, misi dan kondisi  yang berbeda tentu berimplikasi pada beban belajar dan perangkat pendukung yang berbeda pula. Tetapi anehnya, sebagian masyarakat menuntut hasil yang sama hanya dari sebagian prestasi yang dihasilkan, katakanlah hasil UN nya. Padahal  keduanya sesungguhnya tidaklah sama. Sekolah umum, pada umumnya berstatus negei. Dengan statusnya itu lembaga pendidikan pemerintah segala sesuatunya tercukupi sekalipun dalam batas-batas`minimal, misalnya guru,  perpustakaan, laboratorium dan sarana pendidikan lainnya.
Berbeda dengan sekolah umum, madrasah yang pada umumnya berstatus swasta, maka selalu saja  mengalami serba kekurangan, misalnya guru yang mengajar belum tentu memperoleh imbalan kesejahteraan yang cukup, buku-buku belum tentu tersedia dan apalagi sarana dan prasarana lainnya. Demikian pula, beban belajar siswa, jumlahnya jelas lebih banyak. Pengertian terbaru madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam. Mata pelajaran  yang bernuansa  muatan ciri khas jumlahnya tidak sedikit, yang hal ini merupakan beban tersendiri bagi para siswa. Siswa madrasah kemudian mengikuti dua jenis ujian, yaitu ujian madrasah (mata pelajaran ciri khas), dan juga mengikuti ujian akhir nasional. Ironisnya yang dilihat tatkala melihat mutu madrasah hanya tertuju pada ujian akhir nasional, dan tidak memperhatikan prestasi lainnya, misalnya keberhasilannya dalam memperoleh prastasi kecerdasan spiritual mapun emosionalnya.[5]
Semestinya, jika dua jenis lembaga pendidikan ini ingin diperbandingkan hasilnya, maka seharusnya segala sesuatu yang mendukung dan bahkan muatan beban pendidikannya harus diberlakukan secara sama. Membandingkan hasil pendidikan dari dua jenis lembaga pendidikan yang tidak sama kondisi dan latar belakang kekuatannya akan menghasilkan kesimpulan yang tidak adil. Jika prestasi madrasah hanya dilihat dari hasil UN maka sepertinya tidak memadai, semestinya dilihat juga prestasi lainnya. Misalnya, tidak banyak terdengar anak madrasah, bahkan tidak pernah ada, yang terlibat kenakalan remaja secara serius dalam berbagai bentuknya. Bukankah ini sesungguhnya sebuah prestasi yang perlu diperhatikan secara memadai.

2.    Nasib Lembaga Pendidikan Swasta
Kelahiran lembaga pendidikan swasta tidak selalu didorong oleh alasan karena tidak adanya lembaga pendidikan, termasuk  lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Sekalipun  ada sekolah negeri, tetapi jika masyarakat memiliki aspirasi berbeda dengan lembaga pendidikan negeri itu, maka apapun jadinya madrasah pun haus dibangun. Sementara masyarakat ada yang beranggapan bahwa lembaga pendidikan umum negeri dipandang belum memberikan pendidikan agama secara cukup. Bagi mereka yang memandang pendidikan agama lebih utama, maka mendorong masyarakat membangun lembaga pendidikan madrasah, sekalipun  belum tentu madrasah baru itu tersedia  tenaga pengajar maupun sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Akibatnya, pendidikan berjalan seadanya.
Pemerintah lewat Kementerian  Agama sesungguhnya telah memperhatikan soal-soal yang terkait dengan  mutu hasil pendidikan, termasuk lembaga pendidikan yang diselenggarakan  masyarakat,  dengan memberlakukan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk  dapat diijinkan mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Tetapi pada kenyataannya, segala persyaratan itu dihiraukan dan muncullah lembaga pendidikan dimaksud.
Pada umumnya madrasah lahir dalam keadaan yang serba kekurangan. Bagi sementara masyarakat yang lebih dipentingkan adalah symbol yang disandangnya, yakni bernama madrasah. Perkara  isi pendidikan maupun hasil yang sebenarnya kurang memperoleh pertimbangan dan perhatian saksama. Kesadaran simbolik, berupa identitas yang disandang,  oleh sementara masyarakat  ternyata dikalahkan oleh ujuran-ukuran lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah sekalipun.
Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan seperti itu menjadi  tidak mudah. Masyarakat si empunya madrasah merasa memiliki otonomi seluas-luasnya. Tetapi sesungguhnya, jika pemerintah berketetapan hati meningkatkan kualitas  lembaga pendidikan semacam ini, masih tersedia pintu masuk seluas-luasnya, asal intervensi itu tidak mengganggu eksistensi dan aspirasi masyarakat pendirinya. Mereka dengan tangan terbuka  akan  bersedia menerima bantuan gedung, buku pelajaran  dan bahkan tenaga pengajar sekalipun. Persoalannya ialah apakah tersedia dana untuk itu dan lagi pula ada kemauan secara tulus mengikuti aspirasi masyarakat  pecinta madrasah ini?


3.        Lingkaran Setan Madrasah Swasta

Pada umumnya satu-satunya penyangga financial kehidupan madrasah adalah wali murid sendiri. Sekalipun madrasah berada di bawah yayasan, tidak berarti bahwa yayasan tersebut mampu  mencukupi seluruh kebutuhan madrasah.  Pendanaan yang bersumber masyarakat, sesungguhnya tidak mencukupi, baik yang dibayar awal masuk atau bulanan.  Besarnya dana yang dipungut  dari wali murid itu, umumnya juga tidak besar, apalagi madrasah yang berlokasi di daerah masyarakat miskin, amat kecil. Akibatnya, dana yang dapat dikumpulkan oleh madrasah juga kecil.
Kecilnya dana pendukung ini otomatis akan berpengaruh pada kecilnya kemungkinan madrasah memberikan insentif pada guru dan juga penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Padahal, kelemahan kedua factor pendidikan tersebut berakibat pendidikan dan pengajaran akan berjalan seadanya dan akibatnya kualitas pendidikan tidak akan dapat diharapkan. Kualitas hasil pendidikan yang rendah juga  mengakibatkan motivasi dan partisipasi masyarakat terhadap lembaga madrasah juga rendah. Akhirnya, rendahnya motivasi dan partisipasi juga berakibat kecilnya dana madrasah yang dapat dihimpun. Hubungan sebab akibat yang mengitari dan bahkan melilit-lilit kehidupan madrasah inilah yang disebut dengan lingkaran setan madrasah swasta.
Oleh karena itu, sebenarnya jika pemerintah menginginkan lahirnya lembaga pendidikan yang berkualitas, merata dan demokratis perlu kiranya memotong lingkaran setan yang mengitari madrasah  tersebut. Mulai dari mana lingkaran setan itu dipotong dan diganti dengan lingkaran malaikat, maka jawabnya terserah pada kemauan pemerintah. Dengan menyediakan anggaran yang cukup, sehingga madrasah dapat menghidupi para guru-gurunya, melengkapi sarana dan prasarana pendidikannya, menyediakan buku-buku pelajarannya, tanpa mengganggu kemauan aspirasi mereka, insya Allah persoalan ini dapat terselesaikan.
Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional telah  memberikan peluang bagi pemerintah memberikan perhatian secukupnya terhadap seluruh lembaga penyelenggara pendidikan, termasuk pendidikan madrasah. Madrasah dengan segala kelemahan dan kekurangannya,  pada hakekatnya telah dibangun  atas dasar niat yang tulus  yaitu ingin mengantarkan putra-putrinya berkesempatan mengenali ajaran agamanya (Islam) secara memadai. Pilihan masyarakat terhadap madrasah tersebut sebenarnya tidak sulit dipahami, sekalipun hasil pendidikan, misalnya  kurang unggul pada ranah intelektualnya, namun masih memiliki kelebihan pada ranah kecerdasan spiritual dan kepribadian yang pada saat ini sangat diperlukan oleh bangsa ini. Wallahu a’lam.

4.    Problem Pendidikan Islam Masa Kini

Apakah sumbangan yang dapat diberikan oleh pendidikan Islam di Indonesia untuk membantu pendidikan nasional mengembangkan diri, sehingga ia mampu melahirkan angkatan baru dalam masyarakat Indonesia yang kian lama kian cerdas, kian terampil dan kian bijaksana, dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang dihadapinya?
Sistem dan Struktur
Ada dua hal yang perlu dikaji mengenai Pendidikan Islam Indonesia sebagai suatu sistem, yaitu mengenai hubungannya dengan keseluruhan sistem pendidikan; dan mengenai struktur internal yang terdapat dalam tubuh Pendidikan Islam Indonesia .Dalam soal peremajaan sistem pendidikan formal, pendidikan Islam merupakan semacam "beban" yang harus diangkat oleh induknya, yaitu sistem pendidikan nasional pada umumnya. Sedangkan dalam soal pengembangan pendidikan nonformal, ia menjadi "pelopor" yang tak mudah diikuti. Pendidikan Islam di Indonesia yang ada pada saat ini dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
Satu, Pendidikan Pondok Pesanten, ialah Pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional bertolak dari ajaran Alquran dan Al- Hadis, dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan para siswa sebagai jalan hidup (way of life);
Dua, Pendidikan Madrasah, ialah pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga model Barat yang mempergunakan metode pengajaran klasikal dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa;
Tiga, pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum.
Empat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga pendidikan umum sebagai mata pelajaran saja. Mengenai pendidikan jenis pertama (pondok pesantren) dan kedua (madrasah) tidak ada masalah. Mengenai pendidikan Islam jenis ketiga (pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah lembaga pendidikan seperti Universitas Islam, pada tingkat pendidikan tinggi; SMA, pada tingkat pendidikan menengah. Sedangkan SD dan SMP, pada tingkat pendidikan dasar.
Mengenai Pendidikan Islam jenis keempat, yaitu pelajaran agama Islam di sekolah umum, ada sedikit tambahan. Kegiatan pendidikan Islam jenis ini pada umumnya merupakan pendidikan keislaman yang sangat terbatas cakupannya dan banyak pihak yang berpendapat, bahwa kegiatan ini sebenarnya sukar dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, dan lebih tepat kalau disebut sebagai kegiatan pengajaran.
Pendidikan Islam Indonesia dapat diandalkan untuk memelopori kegiatan pengembangan sistem pendidikan nonformal dalam masyarakat. Sedangkan pendidikan Islam di madrasah serta lembaga pendidikan umum yang bernafaskan Islam merupakan wahana yang dapat dipergunakan oleh umat Islam untuk ikut mendorong lahirnya proses peremajaan sistem pendidikan formal .
Pendidikan Islam jenis keempat, yaitu pelajaran agama Islam di sekolah umum merupakan kegiatan dengan posisi yang bersifat marginal. Artinya tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pendidik Islam lewat pendidikan jenis ini untuk memberikan sumbangan yang berarti bagi lahirnya proses peremajaan sistem pendidikan .
Kekuatan utama, dari pondok pesantren sebagai lembaga penyelenggara pendidikan nonformal terletak pada kemampuannya untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada segenap golongan umur dan masyarakat.
Di lain pihak, keterbatasan yang terdapat pada pondok pesantren sebagai pusat pendidikan non-formal ialah bahwa pelayanan pendidikan yang diberikannya kepada masyarakal terpusat pada soal keagamaan semata-mata. Padahal kebutuhan masyarakat luas akan pelayanan pendidikan di masa sekarang meliputi berbagai macam jenis, seperti kesehatan, pertanian, berbagai jenis teknologi, pengetahuan umum, dan sebagainya.
Dua Jalur
Proses peremajaan sistem pendidikan formal perlu dilakukan lewat dua jalur kegiatan, yaitu: jalur kegiatan untuk mengangkat mutu pendidikan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah; dan jalur kegiatan untuk mendorong sekolah dan madrasah mengantisipasi persoalan yang diperhitungkan akan muncud di masa depan. Melalui perkembangan ini, pendidikan formal kita akan mampu melahirkan angkatan-angkatan yang makin takwa, makin cerdas dan makin terampil .
BAB III                                                                                                      PENUTUP

A.  Kesimpulan

Makalah ini telah mencoba membahas masalah isu dan problem yang dihadapkan kepada lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah.  Sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan generasi muda ummat Islam untuk masa depan, madrasah diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang akan mampu memainkan peran penting di semua sektor kehidupan bangsa, baik itu sektor agama, sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi.  Madrasah diunggulkan daripada sekolah umum karena madrasah memberikan pendidikan agama (yang lebih baik daripada sekolah umum) di samping pendidikan umum (yang sama dengan sekolah umum).  Persoalan yang masih dihadapi madrasah saat ini adalah masifh rendahnya standar kualitas pendidikan umum yang diberikannya di madrasah.  Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kurang disadarinya peran penting pendidikan umum itu bagi kelanjutan peran ummat dalam percaturan pembangunan nasional.  Namun, dampak dari kekurang sadaran akan peran penting pendidikan umum, terutama di bidang teknologi dan ilmu eksakta, ini akan menyebabkan sektor-sektor ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat menentukan arah pembangunan nasional terpaksa diserahkan kepada lulusan non-madrasah. 

B.   Saran
Sebelum terlambat, madrasah disarankan untuk lebih memperhatikan masalah kualitas pendidikan umum ini bagi para santrinya.



DAFTAR PUSTAKA





Maksum. Madrasah. 1999. Sejarah dan Perkembanganya. Jakarta:Logos.


Saleh, Rachman. 1979. Penyelenggaraan Madrasah. Jakarta: Dharma Bhakti.




[1] file:///H:/hp/problem-pendidikan-islam-masa-kini-oleh.html
[2] Rachman Saleh. Penyelenggaraan Madrasah. Jakarta: Dharma Bhakti. 1979h.12
[3] Maksum. Madrasah. Sejarah dan Perkembanganya. Jakarta:Logos. 1999. H.149
[5] http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel/1411-harapan-pada-pemerintah-terhadap-pesantren-salaf.html#commentID765

2 komentar:

  1. menurut saya isu yang demikian perlu adanya penelitian yang valid agar tidak timbul pertanyaan sehingga ke depan pendidikan islam lebih uptodate (bonafit) tidak mudah untuk direkontruksi oleh para pakar pendidikan islam

    BalasHapus
  2. pada madrasah unggulan bisa dibilang jitu dalam hal soal un namun sulitnya menanamkan aqidah kepada anak agar selalu tetap pada posisi seperti anak pondok yang mempunyai rasa tawadluk terhadap kyai nya

    BalasHapus